Apa Sikap Umat Terhadap Pemimpin Yang (Dianggap) Zalim? *

Dalam rangka meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. para ulama telah menjelaskan bahwa inti dari takwa sesungguhnya adalah mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Taat kepada Allah mencakup taat kepada Rasulullah Saw. sebagaimana sabda beliau:

“أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنَّ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَإِنَّ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ طَاعَتِي” قَالُوا: بَلَى نَشْهَدُ. قَالَ: فَإِنَّ مِنْ طَاعَتِي أَنْ تُطِيعُوا أُمَرَاءَكُمْ” (رَوَاهُ أَحْمَد وَأَبُو يَعْلَى وَالطَّبرَانِي)

Tidakkah kalian mengetahui bahwa barangsiapa mentaatiku maka ia telah mentaati Allah, dan sesungguhnya taat kepada Allah termasuk di dalamnya adalah taat kepadaku?.” Para sahabat menjawab: “Ya, kami mengetahuinya.” Rasulullah Saw. kemudian melanjutkan: “(Begitu pula) sesungguhnya termasuk taat kepadaku adalah kalian mentaati pemimpin-pemimpin kalian.”   (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan ath-Thabarani)

Melalui hadits di atas, dapat diketahui bahwa taat kepada Allah tidak hanya mencakup taat kepada Rasul-Nya, melainkan juga taat kepada pemimpin atau pemerintah. Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. menegaskan:

“مَنْ أَطَاعَ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي” (رَوَاهُ مُسْلِم)

Barangsiapa mentaati pemimpin maka ia telah mentaatiku, dan barangsiapa melanggar perintah pemimpin maka ia telah melanggar perintahku.” (HR. Muslim)

Hal ini sebagaimana dikuatkan dalam al-Qur’an, di mana Allah Swt. berfirman:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا” (النِّسَاء: 59)

Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta pemerintah di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)

Bahkan dalam hadits lain, Rasulullah Saw. mengatakan:

“اِسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ” (رَوَاهُ الْبُخَارِي)

Dengarkan dan taatilah (pemimpinmu) walau pemimpinmu itu adalah seorang hamba sahaya yang berasal dari Etiopia dan kepalanya mirip-mirip buah kismis.” (HR. al-Bukhari)

Para ulama telah menjelaskan bahwa seorang budak atau hamba sahaya tidak berhak menjadi pemimpin, maka hadits di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin meskipun sebetulnya tidak berhak memimpin tetap wajib dipatuhi perintah-perintahnya. Adapun jika sekelompok orang mengatakan bahwa pemimpin yang wajib ditaati adalah pemimpin yang baik, adil dan disenangi rakyatnya, maka Rasulullah Saw. membantah dengan sabda beliau:

“السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ” (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Mendengarkan dan mentaati adalah wajib atas setiap muslim terhadap pemimpin, baik dalam peraturan yang disukai maupun tidak disukai, selagi ia tidak diperintahkan (oleh pemimpin itu) untuk melakukan maksiat.  Apabila ia diperintahkan berbuat maksiat (seperti dilarang shalat, puasa, zakat dan haji, atau diperintahkan meminum khamr, berzina, membunuh dan lain-lain) maka jangan dengarkan dan jangan taati.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah Saw. menegaskan:

“مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ إِلَّا مَاتَ ميتَةً جَاهِلِيَّةً” (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Barangsiapa melihat sesuatu yang tidak disukai pada pemimpinnya (baik ucapan, perbuatan, keputusan maupun peraturan-peraturannya) maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya tidaklah seseorang berpaling dari jamaah walau sejengkal lalu ia meninggal dunia kecuali matinya seperti matinya orang-orang Jahiliyah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Pada hadits-hadits di atas ditegaskan, apabila kita menemukan sesuatu yang tidak disukai pada seorang pemimpin maka hendaklah kita bersabar dan tetap patuh. Bukan melakukan unjuk rasa besar-besaran, mencaci-maki, menjatuhkan, mengujar kebencian dan lain sebagainya. Dalam hadits lain dikemukakan:

“يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِين فِي جثْمَانِ إِنْسٍ” قِيلَ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلَكِ؟ قَالَ: “تَسْمَع وَتُطِيع لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ” (رَوَاهُ مُسْلِم وَالْحَاكِم)

Akan muncul pada zaman-zaman setelahku pemimpin-pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan akan muncul pemimpin-pemimpin yang berbadan manusia namun berhati setan.” Seorang sahabat bertanya: “Lantas apa yang harus aku lakukan jika hidup di zaman itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dengarkan dan taatilah pemimpin itu walau ia mencambuk punggungmu dan merampas hartama, tetap dengarkan dan patuhi!.” (HR. Muslim dan al-Hakim)

Lalu bagaimana para ulama memahami hadits-hadits di atas?. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ulama terkemuka ilmu hadits yang bermazhab Syafi’i, dalam kitab Fathul Bari menjelaskan:

وَالْحِكْمَةُ فِي الْأَمْرِ بِطَاعَتَهِمْ الْمُحَافَظَةُ عَلَى اتِّفَاقِ الْكَلِمَةِ لِمَا فِي اْلِافْتِرَاقِ مِنَ الْفَسَادِ

“Dan hikmah dari perintah mentaati pemimpin (meskipun zalim) adalah untuk memelihara persatuan dan kesatuan, sebab perpecahan memiliki dampak yang teramat buruk.”

Kalaupun terlanjur terjadi fitnah berupa perpecahan dan perseteruan serta pembunuhan antar umat, maka Rasulullah Saw. berpesan agar kita tidak ikut-ikutan dalam pergulatan politik yang sedang kacau nan penuh keonaran. Beliau bahkan berpesan agar kita tetap fokus bekerja dan beribadah. Beliau bersabda:

“الْعِبَادَةُ فِي الْفِتْنَةِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ” (رَوَاهُ الطَّبرَانِي)

(Fokus) beribadah di saat-saat terjadi fitnah adalah (pahalanya) seperti berhijrah kepadaku.” (HR. ath-Thabarani)

Dalam riwayat lain disebutkan:

“الْعَمَلُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ” (رَوَاهُ أَحْمَد)

(Fokus) bekerja di saat-saat terjadi pembunuhan (antar umat dan rakyat) adalah (pahalanya) seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain dikatakan:

“الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ” (رَوَاهُ مُسْلِم)

(Fokus) beribadah di saat-saat terjadi pembunuhan (antar umat dan rakyat) adalah (pahalanya) seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)

Sungguh banyak pesan-pesan Nabi lainnya yang wajib kita baca berulang-ulang, kita camkan, renungi dan amalkan baik-baik, terlebih di musim-musim politik seperti saat ini. Antara lain sabda Rasulullah Saw.:

“سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءٌ تَعْرِفُونَ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُونَ وَيُفْسِدُونَ وَمَا يُصْلِحُ اللهُ بِهِمْ أَكْثَرُ فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَهُمُ الْأَجْرُ وَعَلَيْكُمُ الشُّكْرُ وَإِنْ أَسَاءُوا فَعَلَيْهِمُ الْوِزْرُ وَعَلَيْكُمُ الصَّبْرُ” (رَوَاهُ مُسْلِم)

Kelak akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian ketahui kebaikan-kebaikan mereka dan juga kalian ingkari (tidak sukai) keburukan-keburukan mereka. Mereka (pemimpin-pemimpin itu) melakukan kerusakan namun kebaikan Allah melalui mereka (sebetulnya) lebih banyak. Apabila mereka memimpin dengan baik, maka bagi mereka pahala dan wajib atas kalian bersyukur. Dan apabila mereka memimpin dengan buruk (zalim), maka atas mereka dosa dan wajib atas kalian bersabar.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain dinyatakan:

“سَتَكُونُ أُمَرَاءٌ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ” قَالُوا: أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: “لَا مَا صَلَّوْا” (رَوَاهُ مُسْلِم)

Kelak akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian ketahui kebaikan-kebaikan mereka dan juga kalian ingkari (tidak sukai) keburukan-keburukan mereka. Barangsiapa mengakui atau membenarkan (kebaikan-kebaikan mereka) maka ia bebas, dan barangsiapa mengingkari (tidak membenarkan keburukan-keburukan mereka) maka ia selamat. Akan tetapi orang yang meridhoi dan menuruti (kejahatan-kejahatan mereka lah yang tidak selamat).” Para sahabat bertanya: “Tidakkah kita harus membunuh mereka?” Beliau menjawab: “Jangan, selagi mereka masih melaksanakan shalat.” (HR. Muslim)

Menjelaskan hadits di atas, Imam an-Nawawi (ulama hadits dan fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan:

لَا يَجُوزُ الْخُرُوجُ عَلَى الْخُلَفَاءِ بِمُجَرَّدِ الظُّلْمِ أَو الْفسْقِ مَا لَمْ يُغَيِّرُوا شَيْئًا مِنْ قَوَاعِدِ الْإِسْلَامِ

“Tidak boleh keluar (menyerang, melakukan demonstrasi dan semacamnya) kepada para pemimpin hanya dengan alasan kezaliman mapupun kefasikan, selama mereka tidak merubah apa-apa dari prinsip-prinsip ajaran Islam.”

Dalam kitab Marqat al-Mafatih karya Imam Ali al-Qari diterangkan bahwa yang dimaskud dengan mengingkari keburukan pemimpin dalam hadits di atas adalah mengingkari dengan hati dan membenci keburukan tersebut dalam hati. Tidak diungkapkan secara nyata dengan ucapan-ucapan yang mengumpat, mengujar kebencian, sumpah serapah dan mengundang kekacauan serta keonaran, apalagi menghina dan mencaci-maki, sebab Rasulullah Saw. bersabda:

“مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ” (رَوَاهُ التِّرْمِذِي)

Barangsiapa menghina pemimpin yang telah ditakdirkan Allah sebagai pemimpin di muka bumi, maka Allah akan menghinanya.” (HR. at-Tirmizi)

Dalam kitab tafsir al-Bahr al-Madid karya Imam Ahmad bin Ajibah bahkan disebutkan, wajib memuliakan pemimpin meskipun ia tidak adil, karena bagaimanapun ia adalah pemimpin pilihan Allah dalam takdir-Nya. Sayidina Abdullah bin Mas’ud Ra. pun menegaskan:

اصْبِرُوا فَإِنَّ جَوْرَ إِمَامٍ خَمْسِينَ عَامًا خَيْرٌ مِنْ هَرْجِ شَهْرٍ

“Bersabarlah, karena sesungguhnya kezaliman seorang pemimpin selama lima puluh tahun lebih baik daripada perpecahan dan pembunuhan selama satu bulan.”

Pernyataan Sayidina Abdullah bin Mas’ud di atas sesungguhnya bersandar pada sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:

“الْإِمَارَةُ الْفَاجِرَةُ خَيْرٌ مِنَ الْهَرْجِ” (رَوَاهُ الطَّبرَانِي)

Kepemimpinan (pemerintahan) yang zalim dan kejam itu lebih baik daripada maraknya perpecahan dan pembunuhan.” (HR. ath-Thabarani)

Salah satu dari sekian banyak bukti nyata kebenaran hadits di atas adalah apa yang terjadi belakangan ini di beberapa negara Arab seperti Libya, Suriah dan lain-lain. Memang, Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang jihad yang paling baik, dan beliau menjawab:

“كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ ذِي سُلْطَانٍ جَائِرٍ” (رَوَاهُ أَحْمَد وَابْنُ مَاجَة وَغَيْرُهُمَا)

Perkataan yang benar di hadapan pemimpin yang zalim/kejam.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan lain-lain)

Akan tetapi perkataan yang benar di atas harus pula disampaikan dengan cara yang benar. Nabi Musa dan Nabi Harun pernah diperintahkan Allah untuk menghadap kepada Fir’aun. Allah Swt. berfiman:

“اِذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى” (طَهَ: 43-44)

Pergilah kamu berdua (hai Musa dan Harun) kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas. Lalu berkatalah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Apabila Nabi Musa dan Nabi Harun diperintahkan untuk berkata kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lemah-lembut, maka sezalim dan sekajam apapun pemimpin di zaman ini, ia takkan lebih kejam dari Fir’aun, dan semulia-mulia ulama di zaman ini, takkan pernah lebih mulia dari Nabi Musa dan Nabi Harun. Maka tentu saja kata-kata yang dilontarkan pun harus turut bijaksana, santun dan lemah-lembut. Semoga negeri kita ini senantiasa dilimpahkan rahmat, ampunan dan perlindungan oleh Allah Swt. Amin ya Rabbal ‘alamin.

___________________________________________

* Disampaikan dalam khutbah Jum’at di Masjid Besar at-Taqwa Pancor Lombok Timur pada tanggal 21 Desember 2018 dan Masjid Raya Hubbul Wathan Mataram, 8 Februari 2019.