Perkawinan Anak dalam Perspektif Hukum Islam *

Sebelum mengupas lebih spesifik tentang hukum perkawinan anak, terlebih dahulu lazim diketahui bahwa hukum perkawinan itu sendiri cukup beragam. Para ulama telah memfatwakan bahwa hukum perkawinan tidak selamanya sunnah, melainkan terkadang menjadi wajib, makruh, bahkan haram. Dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Syekh Abdurrahman al-Jaziri, disebutkan bahwa hukum dasar sebuah pernikahan adalah mubah. Apabila dilakukan dengan niat ibadah dan mencetak keturunan yang baik, maka hukumnya menjadi sunnah atau mustahab. Apabila dilakukan untuk mencegah sebuah mudarat dan khawatir terjerumus dalam zina, maka hukumnya menjadi wajib. Apabila pernikahan terjadi tanpa rasa cinta antara suami dan istri atau si suami tidak mampu menafkahi, maka hukumnya menjadi makruh. Sedangkan bila pernikahan dapat membuka pintu kemungkaran dan penganiayaan, maka hukumnya menjadi haram.

Atas dasar itu, dapat dipahami bahwa tujuan dari pernikahan itu sendiri, sebagaimana tertera dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ Ayat 1 dan Surat ar-Rum Ayat 21, adalah sebagai berikut:
1. Mencapai ketenangan dan kenyamanan hidup (sakinah).
2. Merajut cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah).
3. Membina rumah tangga bahagia yang diridhoi Allah.
4. Mencetak keturunan yang mulia (dzurriyyah shalihah).
5. Dan tujuan-tujuan penting lainnya.

Berlandaskan hukum-hukum dan tujuan-tujuan perkawinan di atas, maka dapat diketahui bahwa perkawinan anak pada umumnya cenderung mendekati hukum haram. Karena:
1. Perkawinan anak dapat memudaratkan, baik secara fisikis maupun psikis.
2. Perkawinan anak tidak dapat mencapai tujuan sesungguhnya dari perkawinan itu sendiri, yakni sakinah mawaddah wa rahmah.
3. Meskipun hukum asal perkawinan anak adalah halal, akan tetapi sebuah kaidah fikih menetapkan bahwa segala sesuatu yang mengarah kepada yang haram maka hukumnya adalah haram. Kaidah fikih lainnya menyatakan, mencegah kemudaratan lebih utama daripada menarik kemanfaatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan anak dapat mengakibatkan berbagai kerugian fisik maupun mental bagi anak, sehingga perkawinan anak berubah hukum menjadi haram.

Memang, dalam agama Islam tidak dibatasi usia minimal seorang anak untuk menjalani sebuah pernikahan, hanya saja Islam mensyaratkan kemampuan dan kesiapan fisik maupun mental. Misalnya, dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ Ayat 6 dicantumkan bahwa usia pernikahan ditandai dengan kebalighan (sudah mengalami mimpi basah ataupun haid) serta memiliki kecerdasan finansial yang cukup baik. Demikian penjelasan para ulama tafsir semisal Imam ath-Thabari dan lain-lain. Maka, kesiapan fisik, mental dan finansial adalah lebih urgen dari sekedar angka usia. Walaupun seseorang berusia di atas 20 tahun, apabila fisik dan mental serta finansialnya belum siap untuk menikah, maka sesungguhnya ia belum dikategorikan ‘cukup umur’ untuk menjalani pernikahan.

Lantas bagaimana dengan Rasulullah Saw. yang menikahi Siti Aisyah di usia enam tahun?. Memecahkan tanda tanya ini, Mufti Mesir periode 2003-2013, Syekh Ali Jum’ah, maupun ulama-ulama besar lainnya menegaskan beberapa hal, antara lain:
1. Pernikahan Rasulullah Saw. dengan Siti Aisyah merupakan salah satu khushushiyyah yang bukan untuk ditiru umat. Sama halnya dengan poligami hingga sembilan istri sekaligus.
2. Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab beliau, Tanzih al-Anbiya’ ‘an Tasfih al-Aghbiya’, memberi isyarat pedas bahwa orang yang menikahi seorang anak kecil dengan alasan mengikuti jejak Nabi adalah orang yang berdosa besar (fasiq). Jangankan dalam hal menikahi anak kecil, bahkan ketika seseorang menggembala kambing dengan dalih mengikuti jejak Nabi pun dikategorikan tidak etis (su’ul adab) terhadap baliau, karena menggembala kambing di masa kini kerap dinilai rendah dan merupakan profesi menengah ke bawah. Demikian tegas Imam as-Suyuthi.
3. Soal usia minimal anak untuk menikah, sifatnya amat relatif; bergantung pada ketentuan-ketentuan adat setempat, budaya masyarakat, waktu, tempat, kepribadian individu maupun situasi dan keadaan. Kepribadian Nabi dan Siti Aisyah jelas amat sangat berbeda. Tuntutan situasi, norma adat, waktu maupun tempat ketika itu pun terlampau jauh berbeda bila dibandinkan dengan saat ini, lebih-lebih di bumi Indonesia.
4. Wajib diinsafi bahwa wanita jaman old yang identik diam di rumah tidak sama dengan wanita jaman now yang turut menempuh pendidikan serta meniti karir sebagaimana umumnya kaum pria. Sehingga, perkawinan anak perempuan di jaman now ini dapat mengakibatkan wanita menjadi gagal dan terbelakang di tengah-tengah masyarakatnya.
5. Imam Besar al-Azhar yang pernah menjabat sebagai Rektor Univ. al-Azhar dan Mufti Mesir, Syekh Ahmad ath-Thayyib, menambahkan bahwa pernikahan Rasulullah Saw. dengan Siti Aisyah sama sekali tidak menuai kontroversi di tengah masyarakat Arab ketika itu. Fakta tersebut menjadi indikasi bahwa pernikahan beliau dengan Siti Aisyah tidak menyalahi norma adat setempat pada masa itu. Beda halnya dengan perkawinan anak di masa kini tentu menuai kontroversi yang tak kunjung berkesudahan. Sebuah kaidah dasar dalam disiplin ilmu fikih menyebutkan, sebagaimana tertera dalam kitab al-Asybah wa an-Nazha’ir karya Imam as-Suyuthi, bahwasanya adat atau tradisi dapat menjadi sebuah hukum yang tetap dan harus dipatuhi.
6. Syekh ath-Thayyib juga mengingatkan bahwa usia Siti Aisyah ketika itu tidak dapat dipastikan dan sukar untuk divalidkan. Ujar beliau, tokoh-tokoh terkemuka di abad ke-5 H. saja tidak dapat diketahui tahun-tahun kelahiran mereka, lantas atas dasar apakah kita memastikan usia pernikahan Siti Aisyah yang hidup di zaman terdahulu?. Namun beliau tidak memungkiri bahwa Siti Aisyah dinikahi di usia sebelum baligh lalu disetubuhi seusai baligh. Dan hal itu -sekali lagi- tidak melanggar norma adat Arab di kala itu.

Ketika Pemerintah Indonesia mengatur batas usia menikah dan menghentikan perkawinan anak, maka tentu saja harus dipatuhi dengan baik karena posisi Pemerintah sebagai ulil amri yang wajib ditaati selagi menjunjung tinggi kemaslahatan dan tidak megimbau kepada kemaksiatan. Rasulullah Saw. mewasiatkan: “Barangsiapa mentaati Pemerintah maka ia telah mentaatiku, dan barangsiapa melanggar Pemerintah maka ia telah melanggarku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, maka para orangtua di negeri ini harus berperan proaktif dalam melindungi anak-anak mereka dari pernikahan pra usia yang telah dibatasi oleh Undang-Undang. Jangan lagi isitilah wali mujbir dikambing hitamkan, sebab wali mujbir dalam hukum Islam terikat ketat oleh sejumlah syarat yang di antaranya:
1. Tidak adanya permusuhan yang nyata antara wali dan gadis yang hendak dinikahkan.
2. Tidak adanya permusuhan dan kebencian antara calon suami dan calon istri yang hendak dinikahkan.
3. Calon suami harus memiliki kesepadanan dan keserasian dengan calon istri yang hendak dinikahkan.
4. Calon suami harus dijamin mampu menafkahi calon istrinya dengan sebaik-baiknya.
5. Calon suami harus siap membayar mahar yang minimal senilai dengan mahar-mahar yang telah didapatkan oleh saudari-saudari calon istrinya.
6. Dan syarat-syarat lainnya.

Apabila syarat-syarat di atas tak terpenuhi, maka akad nikah yang telah berlangsung dinyatakan tidak sah alias batal. Alhasil, Rasulullah Saw. menegaskan: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain). Perkawinan anak jelas membahayakan, baik secara medis maupun sosiologis, dan Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kemaslahatan umat manusia secara universal. Apabila perkawinan anak dibiarkan marak di negera Islam terbesar seperti Indonesia ini -dengan segala dampak buruk yang selama ini pernah diakibatkan-, maka Indonesia akan dicap sebagai negara yang sama sekali tidak mengindahkan prinsip-prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Na’udzu billah min dzalik!.

_________________________

* Dipresentasikan dalam acara peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra pada tanggal 6 Desember 2018 di Gedung Pemuda dan Mahasiswa Selong Lombok Timur NTB.