Bersalaman dengan Mengusap Kepala

Salah satu tradisi di Ma’had Darul Qur’an wal Hadits Nahdlatul Wathan (MDQH NW) Pancor Lombok Timur maupun di pondok-pondok pesantren pada umumnya adalah guru mengusap kepala muridnya setelah atau saat bersalaman. Untuk murid perempuan khususnya, sang guru laki-laki hanya mengusap kepalanya (dalam keadaan berjilbab) tanpa berjabat tangan terlebih dahulu. Lalu apakah hukumnya menurut Islam?.

Melalui aplikasi Whatsapp, pertanyaan tersebut dilontarkan seorang santriwati dan satu orang alumni MDQH NW Pancor pada pagi Kamis, 27 Desember 2018. Salah satu dari keduanya berasal dari Lombok Utara namun dikatakan bahwa pertanyaan dimaksud bersumber dari sahabatnya di pulau Jawa.

Perlu diketahui bahwa mengusap kepala anak atau murid adalah sebuah tanda kasih sayang dan pengayoman, sebagaimana Rasulullah Saw. dalam banyak riwayat seringkali mengusap kepala anak kecil, lebih-lebih anak yatim. Maka tentu saja para murid adalah anak-anak bagi para guru mereka, sehingga mengusap kepala mereka (oleh para guru) termasuk bagian dari mengikuti jejak Nabi dalam menunjukkan tanda mengayomi dan menyayangi.

Selain itu juga, mengusap kepala murid dapat mengandung nilai tabarruk (membagikan keberkahan) yang memang tidak dibatasi tata cara/teknisnya oleh Islam. Para sahabat saja berebut mencium/mengecup kayu yang pernah disentuh oleh Rasulullah Saw. sewaktu berkhutbah. Bahkan sahabat-sahabat lainnya memperebutkan air liur beliau untuk diusapkan di wajah mereka. Misal lain, ketika Imam Taqiyuddin as-Subki mengusap lantai Darul Hadits dengan pipi beliau di kota Damaskus dengan harapan sekiranya pipi beliau mengenai bagian yang pernah diinjak oleh Imam an-Nawawi. Meregup keberkahan guru dengan cara memohon kesediaannya untuk mengusap kepala sangatlah kecil dan terlampau ringan bila dibandingkan dengan cara-cara para sahabat dan para imam terdahulu dalam memburu berkah.