Soal Bendera Tuahid? Tak Penting! *

Imam Malik bin Dinar pernah mengatakan: “Jika engkau menemukan hatimu keras, badanmu lemah dan rezekimu susah, maka ketahuilah itu karena engkau pernah berbicara tentang hal yang tidak penting/bermanfaat bagimu.” Ungkapan Imam Malik bin Dinar ini mengindikasikan bahwa apabila masyarakat kita berhati keras, dan merajalela di tengah-tengah mereka penyakit dan kesusahan/kemiskinan, maka itu tiada lain disebabkan mereka banyak membicarakan hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat. Di zaman ini, perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan tak penting dan tak bermanfaat banyak dilakukan dan dibicarakan bahkan begitu cepatnya diviralkan. Misalkan saja soal bendera tauhid yang dipajang beberapa waktu lalu. Buat apa? Apa manfaatnya? Yang ada ternyata banyak mudaratnya dan menimbulkan kericuhan luar biasa. Yang membakarnya juga buat apa? Apa manfaatnya? Ternyata menjadi fitnah dan diributkan banyak pihak. Kemudian diviralkan untuk apa? Apa manfaatnya? Yang ada semua orang berkoar-koar nan membesar-besarkannya. Bukankah kata Nabi, sejatinya keislaman seseorang adalah bila ia meninggalkan apa yang tak berguna baginya?.

Terkadang sesuatu yang kita anggap positif bisa jadi malah sangat negatif. Kehati-hatian dan pertimbangan matang sebelum melakukan dan mengucapkan sesuatu amat sangat dianjurkan. Sayidina Umar saja selaku Khalifah pernah berkeliling kota di malam hari untuk melihat situasi rakyatnya. Beliau tidak menemukan pelanggaran apapun yang terjadi di tengah kota, lalu beliaupun memasuki sebuah rumah melewati jendelanya dan menemukan seorang pria bersama wanita yang di hadapan mereka terdapat minuman keras. Sayidina Umar berkata kepadanya: “Wahai musuh Allah, jangan mengira maksiatmu dapat ditutup oleh Allah Swt.!” Maka pria itupun membalas: “Wahai Khalifah, meskipun aku melakukan satu maksiat, akan tetapi engkau sendiri telah melakukan tiga maksiat sekaligus.” Sayidina Umar terheran-heran seraya bertanya: “Apa saja tiga maksiat itu?.” Pria itu menjawab: “Engkau telah ber-tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), padahal Allah telah berfirman: “Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.” Sayidina Umar bertanya: “Apa dosa keduaku?” Pria itu menajwab: “Engkau memasuki rumah tidak dari pintu depan, sementara Allah telah berfirman: “Dan masukilah rumah-rumah melalui pintu-pintunya.” Sayidina Umar kemudian bertanya lagi: “Lalu apa dosa ketigaku?.” Pria itu menjawab: “Engkau memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya, sementara Allah berfirman: “Janganlah kalian memasuki rumah-rumah yang bukan rumah-rumah kalian sebelum meminta izin dari para penghuninya dan mengucapkan salam kepada mereka.” Akhirnya, Sayidina Umar dengan segala kemuliaan dan kerendahan hati beliau berkata: “Mohonkanlah ampun kepada Allah untukku!.” Pria itu lalu berdoa: “Semoga Allah mengampuniku dan mengampuni engkau.” Sayidina Umar berkata: “Aku akan melepaskanmu, akan tetapi adakah jaminannya?.” Pria itu menjawab: “Jaminannya adalah, aku takkan kembali melakukan maksiat ini lagi selamanya.”

Oleh karena itu, melakukan apapun, meskipun positif secara kasat mata (semisal amr ma’ruf nahi munkar), harus dipertimbangkan dengan matang terlebih dahulu agar tidak berbalik menjadi negatif. Dari kisah di atas, dapat kita petik pelajaran berharga tentang buruknya mencari kesalahan orang lain. Apabila seorang khalifah saja tidak berhak mencari-cari kesalahan rakyatnya, maka terlebih apabila rakyat yang terus-menerus mencari-cari kesalahan pemimpinnya. Seharusnya, sebagai penumpang sebuah bahtera harus mendukung dan mendoakan yang baik-baik untuk nahkodanya, agar selamat seisi bahtera. Bukan justru mengharapkan kebinasaannya, karena akan binasalah seisi bahtera.

Bahkan, dalam berdoa saja harus pandai-pandai memilih doa-doa yang penting dan betul-betul bermanfaat. Seseorang pernah melihat perahu berlalu yang dikendarai para pelaku maksiat. Mereka terdiri dari para pria dan wanita yang bermabuk-mabukan dan bermusik ria. Orang yang melihat mereka ini menghampiri Imam Ma’ruf al-Karkhi dan berkata: “Wahai Imam, doakanlah mereka agar dibinasakan oleh Allah, sehingga maksiat-maksiat mereka tidak menular kepada umat.” Imam Ma’ruf al-Karkhi pun berdoa: “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah membahagiakan mereka di dunia, maka bahagiakanlah mereka pula di akhirat.” Orang itupun terheran-heran seraya bertanya: “Wahai Imam, mengapa engkau mendoakan mereka demikian?.” Beliau menjawab: “Aku berdoa agar mereka bahagia di akhirat dengan sebab taubat mereka di dunia.” Oleh karena dikabulkannya doa waliyullah tersebut, behtera itupun berlabuh dan mereka turun secara terpisah antara pria dan wanita lalu mencari sebuah masjid untuk sama-sama melakukan shalat taubat. Apabila dalam hal berdoa saja kita harus memilih yang lebih bermanfaat, maka lebih-lebih dalam hal-hal (ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan) lainnya. Wajar saja apabila berbicara adalah perak maka sesungguhnya diam adalah emas.

_____________________________

* Disampaikan di kantor Gubernur NTB Mataram pada tanggal 26 Oktober 2018.