Silaturrahim adalah inti ajaran Islam. Dengan silaturrahim, keimanan dan ketakwaan seseorang menjadi lebih terbukti. Allah Swt. berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. an-Nisa’: 1) Rasulullah Saw. juga bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat maka hendaklah ia menyambung silaturrahim.” (HR. al-Bukhari)
Tidak hanya sebagai bukti keimanan dan ketakwaan, silaturrahim juga bila ditinggalkan maka dapat mengundang laknat dan kutukan dari Allah Swt. sebagaimana firman-Nya: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan silaturrahim? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka serta dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)
Suatu ketika, seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Untuk apa engkau diutus?” Maka beliau menjawab: “(Aku diutus) demi dikokohkannya tali silaturrahim, dipeliharanya jiwa, diamankannya jalan-jalan, dihancurkannya berhala dan disembahnya Allah Swt.” (HR. Ahmad) Bila diperhatikan, silaturrahim dalam hadits ini jauh lebih didahulukan daripada tauhid dan ibadah kepada Allah Swt. Yang artinya, tanpa silaturrahim yang kuat maka iman dan ibadah seseorang kepada Allah menjadi hampa nan sia-sia. Senada dengan hadits Nabi yang menyebutkan: “Tebarkanlah salam, berikanlah makan, sambunglah silaturrahim dan shalatlah di waktu malam di saat orang-orang ketiduran, niscaya engkau memasuki surga dengan aman.” (HR. Ibnu Majah) Jelas sekali, silaturrahim lebih didahulukan daripada ibadah shalat malam.
Tidak hanya di akhirat, menyambung dan memperkuat tali silaturrahim juga besar manfaatnya di dunia, sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa ingin dimurahkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahim.” (HR. al-Bukhari)
Namun siapa sajakah orang-orang yang harus kita sambung silaturrahim dengan mereka? Perlu kita ketahui bahwa kata silaturrahim berasal dari bahasa Arab yang artinya menyambung rahim. Sehingga, mereka itu adalah orang-orang yang lahir dari rahim yang sama dengan kita, yakni saudara-saudara kandung (sama-sama berasal dari rahim ibu), kemudian paman-bibik dan sepupu-sepupu (sama-sama berasal dari rahim nenek) kemudian yang lebih jauh lagi sampai dengan segenap umat manusia, karena seluruhnya tanpa kecuali berasal dari rahim Siti Hawa As.
Suatu ketika, seseorang berkunjung ke kediaman Sayidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan berkata kepada pembantu beliau: “Beritahu Mu’awiyah bahwa aku adalah saudaranya.” “Saudaraku yang mana? Yazid kah?” tanya Sayidina Mu’awiyah. “Bukan,” jawab pembantu beliau. “Bagaimana kamu tidak mengenal saudara-saudaraku? Ataukah ayahku pernah menikah lagi secara diam-diam?” tanya Sayidina Mu’awiyah. “Aku tidak tahu, tapi ia mengaku sebagai saudara engkau, Tuanku!” tutur sang pembantu. Maka Sayidina Mu’awiyah pun menghampiri orang tersebut seraya bertanya: “Siapakah engkau?.” “Aku adalah saudaramu,” sahutnya. “Saudaraku dari siapa?” tanya beliau kembali. “Saudaramu dari Adam,” jawabnya. Dengan raut wajah terkejut bercampur haru disertai ekspresi keinsafan, Sayidina Mu’awiyah pun menegaskan: “Sesungguhnya inilah silaturrahim yang (seringkali) diputuskan. Demi Allah, aku akan menjadi orang pertama yang menyambungnya.”
____________________
* Disampaikan pada tanggal 1 Mei 2019 di Masjid al-Awwabin Gomong Lama Mataram dan diliput oleh TVRI NTB.