Nabi Perintahkan Cukur Jenggot *

Meski menuai kontroversi yang tak biasa, apa yang pernah diutarakan Ketum PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj (Kang Said) terkait jenggot sebetulnya berdasar dan tidak ngawur, namun tentu saja dengan pemahamannya yang bersifat relatif dan eksklusif. Landasan ucapan beliau tersebut dapat ditemui melalui pemaparan para ulama terdahulu semisal Ibnu al-Jauzi dalam kitab Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, Ibnu Najim dalam kitab al-Bahr ar-Ra’iq, Ali Haidar dalam kitab Durar al-Hukkam, Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu Abidin dalam kitab Hasyiyah Rad al-Muhtar, ar-Raghib al-Ashfihani dalam kitab Muhadharat al-Udaba’ dan ulama-ulama besar lainnya.

Dalam kitab-kitab di atas memang benar dikemukakan bahwasanya semakin panjang jenggot seseorang maka semakin berkurang kecerdasan otaknya atau semakin menandakan kebodohan dan kedunguannya. Akan tetapi, para ilmuwan muslim kontemporer mencoba menjelaskan bahwa jenggot panjang dimaksud ialah yang berlebihan dan terbilang tabu di mata masyatakat sekitar. Kang Said sendiri pernah meluruskan bahwa jenggot panjang yang menandakan kegoblokan pemiliknya adalah yang tidak disertai kearifan hati dan kemuliaan akhlak. Bagi beliau, jenggot hanyalah asesoris dan bukan inti utama ajaran Nabi Muhammad Saw.

Ulama Madinah kelahiran 1963, Syekh Shalih bin Awwad al-Maghamisi, pun menekankan bahwa jenggot tidak perlu panjang-panjang. Alasan beliau, Sayidina Ibnu Umar selalu memotong jenggot beliau yang melampaui ukuran genggaman tangan.

Hanya saja, yang cukup menarik untuk dikaji ulang sesungguhnya adalah hadits-hadits seputar jenggot itu sendiri. Yang selalu dipahami dan disimpulkan oleh sebagian umat dari hadits-hadits tersebut adalah bahwasanya Rasulullah Saw. memerintahkan untuk memanjangkan jenggot dan melarang keras mencukurnya walau beberapa ujung helai saja. Aneh bin ajaib, padahal hadits-hadits tersebut sesungguhnya memerintahkan untuk mencukur atau memotong, dan bukan membiarkan atau memanjangkan !!!

Misalnya, hadits yang berbunyi: “A’fu al-liha” selalu diartikan: “Biarkan jenggot” yakni biarkan memanjang dan jangan dicukur. Padahal, kata a’fu sebetulnya bermakna azilu ‘afwaha yang artinya “Buang yang berlebihan darinya.” Pasalnya, perintah Nabi tersebut ditujukan kepada masyarakat yang memang sudah berjenggot panjang dan tebal, sehingga tidak perlu lagi diperintahkan untuk membiarkan ataupun memanjangkan. Yang tepat adalah, perintah tersebut disampaikan agar mereka mencukur jenggot yang berlebihan alias ‘kepanjangan’ agar tidak menyerupai para pendeta Yahudi.

Dalam hadits lain dikatakan: “Waffiru al-liha.” Kata waffiru sebetulnya bermakna potonglah yang berlebihan darinya (azilu wafrataha), sebagaiamana orang Arab mengatakan waffartu min murattabi, artinya aku memotong dari gajiku (untuk ditabung agar lebih hemat). Dalam kamus-kamus bahasa Arab saja disebutkan bahwa waffara ats-tsauba artinya qatha’ahu (ia memotong pakaian) dan bukan thawwalahu (ia memanjangkan pakaian).

Hadits lainnya menyebutkan: “Awfu al-liha.” Kata awfu di sini bermakna ratakan atau rapikan, sebagaimana firman Allah Swt.: “Wa awfu al-kayla” (QS. al-An’am: 152) yang artinya: “Dan sempurnakanlah takaran.” Maksud dari menyempurnakan takaran di sini adalah megurangi yang berlebihan agar tidak melampaui ukuran yang telah ditentukan atau dibatasi oleh takaran tersebut. Dengan demikian maka hadits di atas merupakan perintah untuk merapikan jenggot dengan cara memotong yang berlebihan dari yang sewajarnya serta meratakan ujungnya (sebagaimana tukang kebun memangkas tanaman) agar lebih rapi dan tidak tampak berserakan/berantakan.

Adapun hadits “Arkhu al-liha” maka kata arkhu berarti kendurkan atau uraikan, sehingga hadits tersebut bemakna: “Uraikan/lepaskan jenggot (jangan dikepang).” Hal ini sebagaimana orang Arab mengatakan arkhu as-sitarah yang artinya uraikan tabir (buka gulungannya) dan bukan panjangkan tabir. Dalam hal ini, Nabi memerintahkan para sahabat untuk tidak mengepang jenggot, melainkan melepaskannya terurai ke bawah agar tidak menyerupai orang-orang Majusi.

Dari hadits-hadits di atas, tidak ada satupun yang mengandung perintah untuk memanjangkan jenggot maupun larangan untuk memotongnya. Sebaliknya, justru Nabi memerintahkan untuk mencukur yang berlebihan (a’fu & waffiru), menguraikan dan menyederhanakan (arkhu) serta merapikan dan memperelok (awfu).

Demikian pencerahan yang disampaikan seorang ulama terkemuka Mesir, Syekh Sayid Muhammad Ibrahim Abdul Ba’its al-Kattani. Beliau menekankan bahwasanya jenggot yang panjang dan tebal sesungguhnya bukanlah sesuatu yang dianjurkan apalagi diperintahkan dalam Islam. Justru, jenggot yang panjang dan tebal identik menyeramkan serta jauh dari keindahan dan ketampanan. Sementara, Islam adalah agama yang indah dan senantiasa menyeru kepada keindahan. Demikian tegas ulama kelahiran Alexandria tahun 1946 itu.

Lantas bagaimana jika seorang muslim menguris atau mencukur habis seluruh jenggotnya?. Ulama-ulama kita memfatwakan bahwa berjenggot hukumnya sunnah dan tidak wajib. Kesunnahan berjenggot pun oleh Syekh Mahmud Syaltut, Grand Syekh al-Azhar periode 1893-1963, dikategorikan dalam sunnah ‘adah dan bukan sunnah ‘ibadah. “Sayidina Abu Bakar berjenggot, Abu Jahal pula berjenggot,” tutur Syekh Mahmud Asyur, mantan Wakil al-Azhar yang wafat Juli 2018 lalu. Beliau menitik beratkan bahwa jenggot berkaitan erat dengan budaya masyarakat Arab. Bahkan, ulama Suriah kelahiran 1939, Syekh Muhammad Ratib an-Nabulsi memandang bahwa menguris jenggot lebih afdhal bagi seorang muslim yang hidup di negara yang warganya tidak/kurang mengindahkan jenggot, sebab itu lebih memudahkan baginya untuk berbaur dengan masyarakat sekitarnya, terutama dalam rangka berdakwah menyebarkan agama Islam. Petuah beliau, yang wajib (dakwah) harus diprioritaskan daripada yang sunnah (jenggot).

________________________________

* Disampaikan di Musholla al-Abror Pancor Lombok Timur pada tanggal 9 September 2018 dan disampaikan juga dalam majelis-majelis ilmu lainnya.