Hukum Memilih Pemimpin Non Muslim *

Pada dasarnya, memilih pemimpin non muslim (oleh seorang muslim) hukumnya tidak haram, dan ini sebetulnya telah dituntaskan para ulama semenjak beberapa abad lalu. Di Indonesia pun, Mendiang Gus Dur sebagai salah seorang ulama terkemuka Bangsa juga pernah memfatwakan kebolehannya. Dan bila kita telaah lebih luas tentang masalah ini, akan kita temui bahwa sebagian besar ulama terdahulu maupun kontemporer di Arab dan Timur Tengah pun membolehkannya. Akan tetapi, yang harus dimaklumi adalah bahwasanya masalah ini tergolong yang hukumnya diselisihkan (masa’il khilafiyyah) dan bukan dimufakatkan (mahal ijma’) di kalangan para ulama.

Ibnu Taimiyah, misalnya, memfatwakan bahwa kriteria paling utama bagi seorang pemimpin negara adalah keadilan dan bukan keislaman. Ulama fenomenal kelahiran Turki yang wafat di Suriah tahun 728 H./1328 M. itu berdalih, Allah menolong negara yang adil meskipun kafir, dan tidak akan pernah menolong negara yang zalim meskipun beriman. Fatwa ini pernah dikutip Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. selaku Ketua Umum PBNU. Sebelumnya, pernah juga dinukil oleh Yusuf al-Qaradhawi, Ketua Persatuan Ulama Sedunia. Titik beratnya, jika agama merupakan syarat terutama, maka semestinya Ibnu Taimiyah memfatwakan sebaliknya, yakni pemimpin zalim tapi muslim lebih baik daripada pemimpin adil tapi kafir.

Murid setia Ibnu Taimiyah, yakni Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah yang wafat di Suriah tahun 751 H./1350 M. turut memfatwakan bahwa pemimpin kafir yang adil lebih pantas dipilih rakyat daripada pemimpin muslim yang zalim. Pasalnya, pemimpin kafir yang adil, keadilannya tentu bermanfaat bagi rakyatnya, sementara kekafirannya ditanggung oleh dirinya sendiri. Adapun pemimpin muslim yang zalim, keislamannya menguntungkan dirinya sendiri, sementara kezalimannya merugikan rakyat banyak. Fatwa ini pernah diliput al-watan.com pada 14 Agustus 2017 lalu. Di media yang sama, dilansir pula ungkapan Muhammad Abduh (wafat di Mesir tahun 1905) yang menyatakan: “Di Eropa, aku melihat Islam tapi tidak melihat umatnya. Sebaliknya, di negeriku sendiri aku tidak melihat Islam tapi hanya melihat umatnya saja.”

Ditambahkan oleh Muhammad Shalih al-Munajjid, Imam dan Khatib Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota Khubar Arab Saudi, sebagaimana tertera dalam situs islamqa.info, bahwa persoalan ini harus dipecahkan atas pondasi kaidah kemaslahatan bagi umat. Sehingga, apabila seorang muslim memilih pemimpin kafir yang adil, tidak boleh serta-merta divonis telah mencintai kekufuran dan orang-orang kafir, melainkan sesungguhnya ia mencintai keadilan dan kemaslahatan bagi umat Islam.

Seirama dikemukakan Mufti Mesir periode 2003-2013, Syekh Ali Jum’ah, dalam khutbah Jum’at, 13 Januari 2012 di Masjid Fadhil kota 6 Oktober Mesir. Beliau menegaskan, sebagaimana dimuat dalam media al-Wafd Mesir, bahwa para ulama lebih mengedepankan pemimpin kafir yang adil daripada pemimpin muslim yang zalim. Tiada lain karena pemimpin kafir yang adil jelas lebih bermanfaat bagi rakyatnya (karena keadilan yang ditegakkannya).

Adapun kata “auliya’” dalam QS. al-Ma’idah: 51, sesungguhnya dimaknai sebagai teman/penolong yang konteksnya dapat merugikan umat Islam dengan cara membocorkan rahasia-rahasia umat untuk kemudian menjatuhkannya, terlebih dalam situasi berlangsungnya peperangan sengit antara umat Islam dan kaum kafir. Hal ini dapat ditelaah dan dikaji lebih dalam melalui ayat-ayat yang terpapar sebelum maupun sesudahnya, di mana larangan menjadikan orang kafir sebagai teman dekat, penolong maupun pemimpin adalah dalam konteks jikalau pertemanan tersebut berakibat merugikan umat Islam secara luas, karena tengah berperang dengan kaum kafir maupun karena umumnya sifat-sifat keji kaum kafir ketika itu. Sebaliknya, jika pertemanannya justru dapat memberi maslahat bagi umat, dan orang kafir yang dijadikan teman tidak memiliki sifat-sifat keji yang telah didetilkan dalam rangkaian ayat-ayat dimaksud -yang membahayakan bagi umat Islam-, maka tentu saja tidak dilarang. Penjelasan ini pernah diutarakan Menteri Agama RI ke-16 sekaligus pakar ilmu tafsir ternama di Indonesia, Prof. Dr. KH. Quraish Shihab, M.A. yang kala itu sempat menganalogikan bahwasanya seorang pilot kafir yang handal lebih menyelamatkan bagi para penumpang pesawat daripada pilot muslim yang amatir. Dokter kafir yang berpengalaman juga lebih diprioritaskan daripada dokter muslim yang baru saja menyelesaikan studinya, terang beliau.

Bagi ulama besar al-Azhar yang juga tokoh terdepan Lembaga Fatwa Mesir, Syekh Amr al-Wardani, tentu saja masih banyak dalil dan argumen lain yang kuat tentang bolehnya memilih pemimpin non muslim, terutama di negara-negara sipil yang bersistemkan demokrasi dan rakyatnya menganut banyak agama. Terbukti, beliau sempat dipanggil ke Indonesia untuk menjadi saksi ahli di pihak Ahok dalam kasus penistaan agama. Meskipun kesaksiannya itu diurungkan melalui berbagai pertimbangan, hanya saja permohonan pihak Ahok kepada beliau untuk menjadi saksi ahli setidaknya mengindikasikan bahwa persepsi beliau -yang mewakili persepsi al-Azhar (institusi Islam terbesar sedunia)- berbeda dengan persepsi banyak tokoh Islam di Indonesia yang gencar memutlakkan keharamannya.

Alhasil, hukum memilih pemimpin non muslim (yang diyakini keadilannya oleh si pemilih yang muslim dan dipercaya dapat memberi maslahat bagi segenap rakyatnya) telah difatwakan kebolehannya oleh sejumlah ulama terkemuka, baik masa dahulu maupun masa kini. Tidak sebagaimana diklaim sebagian orang bahwa keharamannya telah disepakati oleh seluruh ulama umat seantero dunia bahkan sejagat raya dan sepanjang masa.

Namun yang terpenting adalah kondusifitas negara kita dan kedamaian rakyatnya. Maka tidak perlu lagi persoalan khilafiyyah ini digaduhkan secara berlebihan di kalangan sesama umat Islam, lebih-lebih jika sampai saling mencerca dan mengkafirkan. Harus diingat selalu bahwa mengindahkan perbedaan serta menghargai pendapat orang lain adalah suatu kewajiban mutlak yang tidak pernah kita perselisihkan. Semoga Allah melindungi bangsa kita.

_________________________

* Disampaikan di beberapa momen diskusi maupun pengajian, antara lain dalam pengajian Tafsir Jalalain di musholla kediaman Pancor pada tanggal 16 Juli 2018.