Dalam sebuah hadits shahih riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan lain-lain dinyatakan bahwa orang-orang yang hidup selepas masa Rasulullah Saw. akan mendapati segudang perbedaan. Karena itu, Rasulullah Saw. berwasiat: “Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para khalifah. Gigitlah ia dengan geraham.” Dalam hadits shahih lainnya riwayat at-Tirmizi, an-Nasa’i dan lain-lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. berpesan untuk berpegang teguh kepada para sahabat dan imam-imam sesudah mereka, lalu beliau bersabda: “Berpegang teguhlah kepada jamaah.” Dipertegas selanjutnya oleh riwayat al-Khathib yang mengungkapkan bahwa umat Nabi Muhammad Saw. akan terpecah menjadi delapan puluh dua golongan; seluruhnya di neraka, kecuali “al-Jama’ah.”
Atas dasar hadits-hadits itulah para ulama terdahulu gigih memformulasikan sebuah ideologi murni yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah para khalifah/imam, sehingga diakui kebenarannya lalu diikuti/dianut oleh mayoritas umat Islam seantero dunia, yang kemudian disebut dengan al-Jama’ah. Maka muncullah istilah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Istilah Aswaja pun sesungguhnya berlandasan kepada riwayat Ibnu Asakir terkait Surat Ali Imran Ayat 107 tentang orang-orang yang putih berseri wajahnya di hari kiamat, Rasulullah Saw. menafisrkan bahwa orang-orang tersebut adalah “Ahlussunnah wal Jamaah.”
Karena dianut oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, maka Aswaja dinamakan pula dengan as-Sawad al-A’zham (golongan terbesar). Dalam hadits riwayat ath-Thabrani, Ibnu Abi Syaibah dan Abu Ya’la, dikemukakan bahwa umat Islam akan terpercah menjadi tujuh puluh satu/dua golongan; seluruhnya di neraka, kecuali “as-Sawad al-A’zham.”
Ideologi yang telah dirumuskan para ulama Aswaja pun telah dipatenkan, dibakukan dan diakui keabsahannya secara ijma’ lalu dilestarikan oleh setiap generasi dari masa ke masa. Meski demikian, konsep ideologi dimaksud belum dimengerti dengan cerdas oleh banyak umat Islam, baik dari kalangan Aswaja itu sendiri, terlebih mereka yang memang kontra dengan prinsip-prinsip Aswaja. Barangkali itulah yang melatarbelakangi terselenggaranya konferensi Aswaja internasional yang menghadirkan ratusan ulama mancanegera pada akhir Agustus 2016 di ibukota Chechnya. Konferensi tersebut semata-mata mempertegas kembali konsep paten Aswaja, agar terus ditegakkan di tengah-tengah maraknya sekte-sekte miring yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam.
Alhasil, Aswaja sebagai golongan terselamat di antara umat Nabi Muhammad Saw. adalah mereka yang dalam akidah menganut paham Asy’ariyah, Maturidiyah, Ahli Hadits maupun Ahli Kasyf. Sementara dalam syariah menganut salah satu dari empat mazhab fikih, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Selain itu, mengamalkan serta menjunjung tinggi nilai-nilai tasawuf yang dipelopori Imam al-Junaid al-Baghdadi selaku Imam ath-Tha’ifah serta leluhur-leluhur sufi penerus, sekaliber Imam al-Qusyairi, Imam al-Ghazali dan pemuka-pemuka sufi lainnya.
Demikianlah tipikal Aswaja yang telah ditetapkan para penyelamat umat sejak berabad-abad silam dari generasi ke generasi hingga dipertegas kembali oleh ratusan ulama Aswaja masa kini di Grozny bulan lalu. Untuk mengenal lebih jauh tentang Aswaja secara historis, konseptual dan definitif, pembaca dapat merujuk kitab Syarh ‘Aqidah Ibn al-Hajib oleh Imam Tajuddin as-Subki, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin karya Imam Murtadha az-Zabidi, al-Manhajiyyah al-‘Ammah karya Syekh Abdul Fattah al-Yafi’i dan literatur-literatur Aswaja lainnya.
Dengan demikian, dapat kita sepakati bahwa payung Aswaja sesungguhnya menaungi banyak aliran dan jalan pemikiran selagi tidak menyimpang dari batas-batas yang telah digariskan para ulama Aswaja secara plural. Dalam aspek teologi misalnya, Aswaja tidak hanya mengayomi Asy’ariyah, melainkan juga Maturidiyah, Ahli Hadits dan Ahli Kasyf, di mana masing-masing dari keempatnya memiliki ciri khas dan corak ketauhidan yang bervariasi. Pun dalam aspek syariah, Aswaja tidak hanya mengayomi Mazhab Syafi’i misalnya, melainkan para penganut Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali juga berhak mengibarkan bendera Aswaja, meski masing-masing dari keempat mazhab tersebut mempunyai gaya bersyariah atau metode berfikih yang berbeda-beda, bahkan dalam satu mazhab pun dapat ditemui beragam persepsi dan argumentasi sebagai manifestasi luasnya rahmat Allah dan banyaknya jalan indah menuju ridho-Nya.
Begitu pula dalam aspek tasawuf sebagai rel kereta umat dalam menempuh perjalanan spiritual, panji Aswaja tidak hanya milik satu aliran tasawuf, melainkan juga hak banyak aliran spiritual yang secara sanad/sislilah kebatinan bersambung secara kuat hingga Imam al-Junaid al-Baghdadi alias tidak menyimpang secara prinsipil dari ajaran-ajaran pokok para sufi terkemuka. Dalam dunia tarekat, kita mengenal banyak tokoh sufi yang telah membina madrasah-madrasah ruhiyahnya untuk menuntun umat ke level tertinggi dalam agama Islam, yakni tingkatan Ihsan. Madrasah-madrasah ruhiyah tersebut dikenal dengan sebutan thariqah, semisal Thariqah Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Khalwatiyah, Rifa’iyah, Dusuqiyah, Tijaniyah, Samaniyah, Syadzuliyah dan lain-lain. Masing-masing menerapkan metode spiritual yang beraneka rupa, namun kesemuanya berkiblat kepada al-Qur’an, as-Sunnah serta al-Jama’ah.
Dengan memahami ketetapan Aswaja di atas -dengan baik dan benar-, maka tidak seyogyanya seorang penganut aliran tertentu -baik dalam akidah, syariah maupun thariqah- mencemoohkan, menyalahkan, mengklaim sesat ataupun mengasingkan penganut aliran lain yang sama-sama bernaung di bawah payung Aswaja. Jangankan sesama Aswaja, Islam sebagai agama langit yang rahmatan lil ‘alamin bahkan selalu mendorong umatnya untuk menghargai dan bersikap toleran terhadap agama-agama lain, lebih-lebih terhadap aliran-aliran lain yang seagama (misalnya, Wahabi, Syiah, Sekuler dan sebagainya), dan terlebih lagi terhadap aliran-aliran lain yang se-Aswaja.
Sedari dulu, karakteristik utama Aswaja adalah moderat (ummatan wasatha) dan toleran (samahah) serta damai nan mendamaikan (rahmatan lil ‘alamin). Beda halnya dengan kelompok-kelompok garis keras yang serba menyulitkan, mengkafirkan, mencemarkan, memecah-belah bahkan mematikan (dengan dalih jihad). Tidak sama pula dengan aliran-aliran kiri yang -dengan mengatasnamakan HAM atau pluralisme agama- berpikir secara bablas dan berpendapat tanpa dasar jelas serta menghalalkan segala-galanya tanpa kenal batas.
Di Indonesia, patut disyukuri wujudnya ormas-ormas Islam yang setia melestarikan dan menyebarkan ajaran-ajaran Aswaja, semisal Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan dan ormas-ormas sehaluan lainnya. Harapan besar penulis kepada ormas-ormas tersebut agar terus mengembangkan kajian ke-Aswaja-annya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas dakwahnya sekaligus meneguhkan persaudaraan dan sikap toleransi sesama warganya. Targetnya, sekte-sekte non Aswaja yang jelas-jelas menyimpang dari ajaran murni agama Islam dapat dikikis ataupun diminimalisir dampak negatifnya sebagaimana mestinya.
Di akhir catatan ini, penulis berpesan dan mengingatkan bahwa berbeda tidak harus bercerai-berai. Para sahabat saja berbeda persepsi dalam banyak hal, namun mereka tetap bersatu dan bahu-membahu. Sebab, perbedaan yang terjadi di antara mereka masih bernaung di bawah ajaran dan tuntunan Baginda. Maka silahkan kita berbeda mazhab, thariqah ataupun organisasi, namun jangan goyakan persatuan, ukhuwah dan toleransi kita, karena kita sama-sama Aswaja. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
_______________________________
* Dipresentasikan dalam diskusi PMII Lotim, 27 Oktober 2016 di Gedung Aula Kwarcab Pramuka Selong Lombok Timur. Didampingi Ketua STF al-Farabi Malang, Ach. Dhofir Zuhry, S.Sos., S.Fil., M.Ap. Beberapa poin penting dari isi makalah ini disampaikan pula dalam pengantar diskusi ke-NW-an di Gedung Birrul Walidain Pancor pada tanggal 18 Januari 2017.