Ketika Tirai Batin Tersingkap *

Sebuah statmen yang amat bertanggung jawab ketika sosok Imam al-Ghazali mengaku bahwa tasawuf lah disiplin ilmu paling konkret. Tak sedikit disiplin ilmu yang telah dikuasainya, namun kepuasan batin hanya teraih seusai menggeluti sebuah ilmu bernama tasawuf. Pasalnya, tasawuf yang seumpama samudra tak bertepi itu bila digali semakin dalam maka semakin tersibak tabir jiwa untuk menerawang kerajaan Tuhan dan menembus langit-langit kekuasaan-Nya. Begitu banyak buku yang pernah dikarang Imam al-Ghazali di berbagai bidang ilmu pengetahuan; fikih, tafsir, tauhid, filsafat dll. namun tak sebanyak karya beliau di bidang tasawuf dan spiritualisme Islam. Secara tidak langsung beliau memberi isyarat bahwa ilmu apapun nyaris tak berguna bila tak terimunisasi oleh ilmu tasawuf sebagai penyelamat dari kesesatan dan penyalahgunaan wawasan!.

Berlandaskan pengalaman sang Hujjatul Islam ini, seorang ulama Libya, Syaikh Ahmad al-Qath’ani mengemukakan bahwa “ilmu tasawuf merupakan sebaik-baik ilmu yang paling bermanfaat, agung dan suci. Kedudukannya tinggi, pengaruhnya terpuji, membersihkan nurani, meneguhkan hati, mendidik perangai, membawa jiwa kepada Pemiliknya, mengantar cinta kepada Penciptanya, menggantikan yang buruk dengan yang baik dan menukar yang busuk dengan yang wangi. Ahli tasawuf adalah ahli Allah, pilihan Allah, orang yang menjadi guide menuju Allah yang selalu ikhlas dan ridho dalam keadaan apapun, baik berpisah, berjumpa, diberi ataupun tak diberi. Seorang sufi memiliki etika yang tinggi serta akhlak yang melangit. Jalannya adalah jalan paling jitu. Metodenya adalah ketulusan dan keikhlasan. Setiap orang berakal dan bijak tidak akan mampu memuji kaum sufi, sebab jiwa dan raga mereka telah dipenuhi pancaran cahaya nan petunjuk penghabisan yang tiada lagi cahaya dan hidayah sesudahnya.”

Seirama disampaikan mantan Dekan Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab Universitas al-Azhar Mesir, Prof. Dr. Muhammad Rasyad Dahmisy bahwasanya “tasawuf memiliki peranan mulia yang luar biasa besar dalam menyebarkan agama Islam dan menyampaikannya ke banyak suku dan bangsa yang masih buta agama. Orang-orang tasawuf lah yang sukses mendekatkan hati kepada Islam melalui keseharian dan perilaku mulia serta kehidupan yang betul-betul mencerminkan Islam secara esensial dalam kemudahan dan keindahannya.”

Artinya, selain merupakan ilmu keislaman yang agung, tasawuf jualah yang berhasil menyebarkan Islam sesungguhnya ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, sekaligus memberi pengaruh positif yang amat signifikan bagi kehidupan sosial. Selain Prof. Dr. Muhammad Rasyad, para ulama kaliber yang mengakui tasawuf sebagai penyebar Islam sesungguhnya antara lain Syaikh Muhammad al-Ghazali, Syaikh Abdul Hafizh Farghali, Dr. Abdurrahman Badawi, Syaikh Hasan al-Banna , Syaikh Abul Hasan an-Nadawi, Syaikh Abdul Mun’im Khafaji, Habib Ali al-Jifri dan masih banyak lagi.

Hanya saja, untuk membuktikan kebenaran fakta di atas secara realistis bahwa tasawuf adalah ilmu yang amat sangat dibutuhkan, tidak mudah bila ditelusuri melalui sebuah riset ilmiah, karena sebagai ilmu rasa maka ia hanya dikenal bila dicicipi dan dirasa. Syaikh Ibnu bintil Maylaq mengingatkan: “Barangsiapa mencicipi suguhan kaum sufi niscaya tahulah ia. Dan barangsiapa telah mengetahuinya, dengan jiwa pun ia rela membelinya.”

Poin lain yang perlu diinsafi adalah bahwasanya urgensi ilmu tasawuf tidak mengenal ruang dan waktu, sebab ia berkaitan erat dengan masalah hati dan hubungan privat dengan Sang Pencipta. Dalam sebuah hadits disabdakan, bila hati membaik maka segalanya turut membaik, dan bila hubungan vertikal telah membaik maka otomatis hubungan horisontal turut membaik. Demikianlah fungsi tasawuf sebagai disiplin ilmu formulasi para spesialis yang secara khusus mengupas tuntas sekaligus membimbing total perbaikan hati dan hubungan vertikal. Tanpa ilmu fikih dan mazhab, entah bagaimana umat menjalankan syariatnya. Tanpa ilmu tajwid dan qira’at, entah bagaimana umat membaca kitab sucinya. Bahkan tanpa ilmu matematika, entah bagaimana manusia menghitung dengan mudah dan instan. Begitu pula tanpa ilmu tasawuf dan tarekat, entah bagaimana umat membersihkan hati dan mendekati Tuhannya. Dan semua itu dilandasi oleh dan terinspirasi dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang tanpanya entah bagaimana umat menjalani hidupnya dengan baik dan benar.

Secara teoritis saja, tasawuf bahkan sanggup membukakan banyak gerbang langit menuju cinta Ilahi yang hakiki nan sejati. Sehingga, teraihlah sebuah kasyf atau mukasyafah yang mustahil diperoleh melalui jalan-jalan lain selain menempuh penyucian hati yang dituntun dan dipandu secara sempurna oleh ilmu tasawuf. Tiada lain karena ilmu tasawuf diformulasi sedemikian rupa oleh segenap spesialisnya yang akrab disebut sebagai awliya’ullah (para kekasih Allah).

Berbicara tentang kasyf atau mukasyafah secara lebih spesifik, perlu diingatkan terlebih dahulu bahwa setiap manusia lahir dengan hati yang bening, akan tetapi kejernihan hati itu sedikit demi sedikit ternodai olah nafsu-nafsu kotor sehingga mata hati tak lagi tajam bahkan tertutup rapat dan terbelenggu godaan setan. Rasulullah Saw. bersabda: “Setiap manusia lahir dalam keadaan suci (beragama Islam).” (HR. Muslim) Rasulullah Saw. juga bersabda: “Apabila hamba berdosa maka tumbuhlah bintik-bintik hitam di permukaan hatinya. Jika ia bertaubat maka terhapuslah bintik-bintik tersebut, tapi jika ia terus berdosa maka semakin bertambah bintik-bintik tersebut dan itulah yang disebut ran dalam firman-Nya, “Sesungguhnya ran menutupi hati mereka atas apa yang mereka perbuat.” (QS. al-Muthaffifin: 14)” (HR. al-Hakim)

Dengan demikian, ketika tasawuf dikaji dan diaplikasikan dengan baik dan benar melalui bimbingan mursyid tarekat , maka secara bertahap hati kembali bersih dan matanya (bashirah) terbuka menyaksikan kekuasaan-Nya secara real pada alam semesta. Juga dapat menyaksikan Sang Pencipta jagat raya itu sendiri (musyahadah). Itulah yang disebut dengan proses kasyf atau mukasyafah. Tak heran jika dalam Shalawat Dzatiyah gubahan Syaikh Ibrahim ad-Dusuqi (653-696 H.) termaktub “Waksyif li ‘an kulli sirrin maktumin ya Hayyu ya Qayyum” (Ya Allah singkaplah tirai hati hamba untuk mengetahui segala rahasia yang tersembunyi) untuk dibaca setiap saat oleh segenap murid setia Tarekat Dusuqiyah.

Di dalam kitab suci al-Qur’an diceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah mengalami mukasyafah saat Isra’ Mi’raj berlangsung, di mana beliau menerima sebuah wahyu spesial dari Tuhan saat menjumpai dan memandang-Nya (sebagaimana tertera dalam surat an-Najm). Dalam sejumlah hadits juga disebutkan seputar eksistensi ilham, firasat orang mukmin, kemungkinan melihat Nabi dalam mimpi maupun jaga dan lain sebagainya. Semua itu bukanlah tahyul tapi merupakan aneka ragam kasyf yang sesungguhnya dimaksud para sufi melalui ilmu tasawuf.

Ketika Bani Israel ngotot ingin menyaksikan Tuhan agar selanjutnya bersedia mengimani Nabi Musa, maka mereka lalai bahwa sejatinya menyaksikan Tuhan (kasyf/musyahadah) justru diperoleh setelah menempuh proses penyucian jiwa dan penyempurnaan iman. Artinya, beriman dulu baru melihat-Nya dan bukan melihat-Nya dulu baru beriman. Dari itulah ilmu tasawuf dan tarekat menawarkan jalan pintas menuju sebuah hakikat yang sempurna dan makrifat yang sesungguhnya, yaitu dengan zikir, shalawat dan cinta Ahlul Bait maupun melalui aplikasi ahwal dan maqamat serta amalan-amalan ritual resep para wali, maka barulah tirai batin menjadi tersingkap (mukasyafah) dan terwujudlah musyahadah Ilahiyah yang selama ini diimpikan, bahkan yang tak terpikirkan pun menjadi hadir di hadapan!.

Berbeda dengan sakr, shahw, wajd, fana’, jadzb, hal dll., kasyf dapat dimengerti seluas mungkin. Intinya, kasyf merupakan penyingkapan tirai batin sehingga dapat menyaksikan dan mengenal banyak hal yang tak sanggup dijangkau kemampuan manusia biasa. Misalnya, bertemu dengan Sayidina al-Khidhr , bertemu para wali terdahulu, bertemu Rasulullah, melihat isi hati orang, menerawang masa lalu dan masa depan, mendapat khithab Ilahi (bercakap dengan Tuhan), menerima ilham dari malaikat, menyaksikan Tuhan secara langsung, menerima ilmu laduni, menguak makna-makna esoteris di balik teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah, mengungkap sisi-sisi batin kitab-kitab klasik dan lain sebagainya. Semua itu masuk dalam kategori kasyf dan hanya diperoleh bila hati telah bening dan jernih.

Yang pasti, semua itu tidak boleh disamakan dengan kegiatan-kegiatan paranormal maupun indra keenam orang-orang indigo, sebab kasyf dalam dunia tasawuf adalah anugerah Ilahi yang khusus dikaruniakan kepada para kekasih pilihan-Nya sebagai salah satu bentuk hidayah plus dan karamah istimewa untuk menggapai puncak ridho yang tiada tara sekaligus membimbing umat ke jalan sejati-Nya. Sudah tentu para dukun dan manusia indigo tidak mungkin disamakan dengan Siti Rabi’atul Adawiyah yang mengatakan: “Cinta sejatiku pada-Nya bersemi ketika Ia menyingkapkan tirai hatiku untuk menatap wajah-Nya.” Tidak pula disamakan dengan Syaikh Abdul Wahhab as-Sya’rani yang berkata: “Para wali juga mengalami isra’ mi’raj ke Sidratul Muntaha, Kursi bahkan Arsyi.” Dan masih ada lagi Syaikh Ibnu Arabi, Syaikh Abdul Karim al-Jili, Syaikh Zunnun al-Mishri, Syaikh Abu Manshur al-Hallaj dan Syaikh Abu Yazid al-Busthami yang pernah menyatakan: “Sebagaimana Nabi, akupun melakukan mi’raj.” Bahkan, Syaikh Mursi Abul Abbas menegaskan: “Apabila Rasulullah Saw. luput dari pandanganku sekejap mata sekalipun, maka aku tidak akan menggolongkan diriku dalam umat Islam.”

Namun, sekelompok kekasih Allah justru tak begitu mengidamkan sebuah mukasyafah. Alasannya, penyingkapan hati lumrahnya teruntukkan bagi mereka yang hendak meningkatkan keimanan dan menghapus keraguan yang masih saja eksis. Adapun mereka yang telah mencapai puncak keimanan, maka tak perlu lagi bukti apapun untuk menambah keyakinan yang sudah kokoh. Buktinya, Sayidina Abu Bakar pernah menegaskan: “Andaikan tersingkap tirai hati untuk menatap-Nya, maka tidaklah bertambah keyakinanku pada-Nya!.”

Alhasil, Allah Maha Kuasa atas segala-galanya, maka segalanya mungkin saja terjadi bila Ia menghendaki. Jangankan mukasyafah dan musyahadah, Fir’aun masuk surga dan Nabi Musa masuk neraka pun tidak mustahil bila Ia menghendaki. Jika itu tidak terjadi maka Allah Maha Menepati Janji, namun bila itu benar-benar terjadi maka Allah Maha Kuasa atas segala-galanya. “Tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya tapi merekalah yang akan ditanyai,” firman-Nya dengan tegas melalui surat al-Anbiya’ ayat 23. Demikianlah keimanan ahli tasawuf yang tertanam begitu kuat dalam sanubari setiap insan yang betul-betul hamba-Nya.

_____________________________________

* Dipresentasikan dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Agama Islam Hamzanwadi (BEM IAIH) Pancor pada 16 Maret 2014 dengan tema “Mukasyafah dalam Dunia Tasawuf”. Didampingi oleh Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta, Dr. Khalid al-Walid, yang berorasi tentang karakteristik epistemologi dalam filsafat al-Ghazali. Ada beberapa poin tambahan dari penulis saat presentasi dan tanya jawab berlangsung, antara lain tentang kelirunya statmen bahwa tasawuf tidak boleh dipelajari kecuali setelah menguasai fikih, esensi ketulusan beribadah ala Siti Rabi’atul Adawiyah yang tanpa pamrih, langkah-langkah penyucian hati sebagaimana diterangkan dalam surat an-Nisa’ ayat 64 dan hebatnya judul kitab Ihya’ Ulumiddin yang berarti menghidupkan ilmu-ilmu agama dan bukan sekedar menghidupkan ilmu tasawuf saja sebagai isyarat bahwa seluruh ilmu agama dapat hidup dengan ilmu tasawuf.